Sejumlah Pasal di RUU Penyiaran yang Memicu Kontroversi Kebebasan Pers

18 Mei 2024 | 06:03
Sejumlah Pasal di RUU Penyiaran yang Memicu Kontroversi Kebebasan Pers
Foto: The Objective  
Penulis
|
Editor Khairun
Bagikan:

LBT | Banda Aceh – Sejumlah pasal dalam draf Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran menuai polemik. Dokumen tertanggal 27 Maret 2024 tersebut dikritik lantaran terdapat pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers.

Draf RUU Penyiaran tersebut berisikan 14 BAB dengan jumlah total 149 Pasal.

Beberapa pasal yang dianggap dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia, yakni larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Kemudian revisi UU Penyiaran juga berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia atau KPI dengan Dewan Pers soal sengketa jurnalistik. 

Melansir dari Tempo.co, berikut pasal-pasal bermasalah dalam darf RUU Penyiaran: 

  1. Pasal 8A huruf (q)

Dalam Pasal 8A huruf (q) darf Revisi UU Penyiaran, disebutkan bahwa KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalnalistik khusus di bidang penyiaran. Hal ini terjadi tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.

“Menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran,” bunyi Pasal 8A huruf (q) darf Revisi UU Penyiaran.

  1. Pasal 42 ayat 2

Serupa Pasal 8A huruf q, pasal 42 ayat 2 juga menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurusi oleh KPI. Sedangkan berdasarkan UU Pers, penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan pers.

Baca Juga:  Menuju Pemilu 2024, Golkar Kota Langsa: Wujudkan Transparansi Pemilu

“Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” demikian bunyi Pasal 42 ayat 2 darf Revisi UU Penyiaran.

  1. Pasal 50 B ayat 2 huruf (c)

Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) menjadi pasal yang paling disorot lantaran memuat aturan larangan adanya penyiaran eksklusif jurnalistik investigasi. Berikut bunyi pasal 50 B ayat 2 huruf (c) tersebut:

“Selain memuat panduan kelayakan Isi Siaran dan Konten Siaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), SIS memuat larangan mengenai:…(c.) penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.”

  1. Pasal 50B ayat 2 huruf (k)

Di kala banyak pihak meminta agar “Pasal Karet” dalam UU ITE diubah karena banyak digunakan untuk menjebloskan seseorang ke dalam penjara dengan dalih pencemaran nama baik, draf revisi UU Penyiaran justru memuat aturan serupa. Sebagaimana dimuat dalam Pasal 50B ayat 2 huruf (k), dilarang membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. 

“Penayangan Isi Siaran dan Konten Siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penodaan agama, kekerasan, dan radikalisme-terorisme,” bunyi beleid tersebut.

  1. Pasal 51 huruf E
Baca Juga:  Mantan Aktivis, Herlin, Maju Sebagai Calon Ketua Umum IKA Unimal

Selain Pasal 8A huruf (q) dan pasal 42 ayat 2, Pasal 51 huruf E juga tumpang tindih dengan UU Pers. Pasal ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan. 

“Sengketa yang timbul akibat dikeluarkannya keputusan KPI dapat diselesaikan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 51 huruf E.

Sementara itu,Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria menduga ada salah penafsiran pada pasal dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Penyiaran, sehingga memunculkan pemahaman soal larangan penayangan eksklusif karya jurnalistik investigasi.

Nezar meragukan RUU Penyiaran memuat pasal yang mengekang kemerdekaan pers, sementara reformasi menuntun masyarakat pada kebebasan berbicara atau berpendapat.

“Kalau itu tidak boleh tampil rasanya aneh. Jadi, nanti kita coba klarifikasi lah, apa yang dimaksud dengan tidak bolehnya muncul jurnalisme investigasi itu,” katanya, di Kantor Bupati Sleman, Yogyakarta, Kamis (16/5) malam, dilansir dari CNN.

Bagi Nezar, jurnalisme mewakili kepentingan publik, dan karya investigasi adalah salah satu bentuk jurnalisme berkualitas.

Nezar menyebut draf RUU dari DPR itu sampai sekarang belum secara resmi sampai ke meja pemerintah.

Setelah draf diserahkan resmi ke pemerintah, dia menjamin kementeriannya akan melibatkan partisipasi masyarakat atau pemangku kepentingan terkait untuk membuat daftar poin keberatan sebelum nantinya disempurnakan.

Baca Juga:  Projo Kecamatan Muara Dua Gelar Konsolidasi dan Deklarasi Prabowo-Gibran Menang Satu Putaran

“Kan itu masih draf kan, berapa poin, setahu saya drafnya sendiri sudah hampir empat tahun itu dibahas. Ya, sudah hampir empat tahun, setahu saya ya,” pungkasnya.

Menanggapi hal tersebut, Sufmi Dasco Ahmad, Wakil Ketua DPR-RI, memastikan RUU Penyiaran jamin hak pers.

“Memang beberapa teman di Komisi I, itu minta waktu untuk konsultasi sehubungan dengan banyak nya masukan-masukan dari teman-teman media yang tadi disampaikan soal investigasi-investigasi itu. Dan ya namanya juga hal yang dijamin undang-undang, ya kita mungkin akan konsultasi dengan kawan-kawan bagaimana caranya supaya semua bisa berjalan dengan baik,” ujar Sufmi.

Sufmi menyebutkan bagaimana undang-undang tersebut diharapkan agar tetap bisa mengakomodir hak kebebasan pers namun juga tetap dapat menyaring hasil investigasi sebagaimana etika pers yang berlaku.

“Hak nya tetap jalan, tapi impact nya kemudian bisa diminimalisir. Itu kan kadang-kadang, engga semua kan, ada juga yang sebenarnya hasil investigasinya benar, tapi juga kemudian juga ada yang kemarin kita lihat juga investigasinya separuh benar, kan gitu. Ini kita akan bikin aturannya supaya sama-sama jalan dengan baik,” tutupnya.

Bagikan:

Tinggalkan Komentar