Proyek Tanpa Izin di Kawasan Hutan Produksi Aceh Utara

26 Desember 2023 | 18:14
Proyek Tanpa Izin di Kawasan Hutan Produksi Aceh Utara
  
Penulis
|
Editor Khairun
Bagikan:

LBT | Aceh Utara – Alih fungsi lahan hutan yang terjadi di Kabupaten Aceh Utara saat ini yaitu dipengaruhi oleh aktivitas sekelompok masyarakat yang berbondong-bondong mengubah hutan menjadi ladang perkebunan sawit.

Dikarenakan saat ini kelapa sawit merupakan komoditi potensial dari segi nilai jual.

Berdasarkan data luas kritis hutan pada Bagian Kesatuan Pengelola Hutan (BKPH) unit pengelolaan hutan wilayah II bahwa Resort Pengelolaan Hutan (RPH) Aceh Utara sendiri terbagi menjadi 2 kawasan hutan yaitu kawasan Paya bakong dan kawasan Cot girek.

Untuk RPH Cot Girek sendiri untuk areal penggunaan lain seluas 54,837,96 ha, hutan lindung 2,779.43 ha, hutan produksi 17,426.99 ha, hutan produksi terbatas null, laut dan sungai 417.77 ha dengan grand total 75,462.15 ha.

Sedangkan untuk kawasan paya bakong sendiri, areal penggunaan lain luas 54,052.17 ha, hutan lindung 12,443.34 ha, hutan produksi 14.604.96 ha, hutan produksi terbatas null, laut dan sungai 477.28 ha, dengan grand total 81,577.75 ha.

Baca Juga:  Para Ulama Lhokseumawe Jumpai Walikota Sampaikan 7 Poin

Jika dibulatkan dari data RPH Cot Girek dan Paya Bakong, data BKPH Lhoksukon bahwa luas 157,039,90 ha mencakup areal penggunaan lain, hutan lindung, hutan produksi, laut serta sungai sebagian kawasan Aceh Utara.

Namun sumber dilapangan menyebut, pada setiap harinya kawasan hutan Aceh Utara terus mengalami alih fungsi lahan menjadi ladang pertanian. Pembukaan, penebangan di kawasan hutan merupakan sebuah pemandangan yang sangat lumrah.

Belum lagi, adanya pembangunan jalan menuju situs makam sejarah pahlawan nasional Cut Meutia yang telah memasuki sebagian kawasan hutan produksi.

Berdasarkan reportase Haikal dari Beritamerdeka.net, informasi dihimpun bahwa pengerjaan dilakukan tanpa adanya izin yang dikeluarkan oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah II Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Aceh.

Berdasarkan penelusuran pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kementerian Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) nilai pagu paket pekerjaan jalan menuju makam cut mutia yang di tander pada 9 November 2020 lalu senilai 30 Milyar rupiah bersumber dana APBN.

Baca Juga:  Periksa Sejumlah Aliran Sungai, Pj Wali Kota Imran Masih Temukan Banyak Sampah Domestik

Masuknya sebagian pengerjaan proyek jalan tersebut dalam hutan produksi tersebut berdasarkan surat keputusan menteri lingkungan hidup dan kehutanan No. 580/MENLHK/SET.1/12/2018 tentang perubahan ke 3 atas Keputusan menteri Kehutanan No. SK. 865/MENHUT-2/2014 tanggal 2014.

Berdasarkan surat keputusan menteri lingkungan hidup dan kehutanan itu bahwa kawasan hutan dan konservasi perairan Provinsi Aceh sepanjang kurang lebih 3 kilometer, berdasarkan koordinat yang telah ditetapkan, PUPR belum mengantongi izin. Namun pengerjaan proyek dilapangan masih tetap dipaksakan.

Belum lagi, momentum tersebut dimanfaatkan oleh sebagian pihak yang mengatasnamakan masyarakat untuk memanfaatkan kiri dan kanan hutan lokasi proyek dikeruk sebagai modus pembangunan jalan, namun agar dapat dialih fungsikan sebagai lokasi perkebunan.

Informasi dilapangan bahwa, pembukaan lahan juga konon bukan lagi dilakukan oleh perorangan secara tradisional, tetapi telah diorganisasi secara rapi dengan menggunakan alat yang lebih maju, dan dengan motivasi bukan sekedar menyambung hidup.

Baca Juga:  Pemko Langsa MOU Program Bimbingan dan Latihan Siswa Tamtama dan Bintara TNI AD

Tetapi, telah digunakan untuk menumpuk kekayaan, kejadian di lapangan antara lain okupasi hutan, diharapkan semua pihak terutama pemerintah dalam hal ini PUPR untuk sepakat mematuhi aturan berkaitan dengan hutan.

Sebagai sokongan guru tegaknya konstitusi hijau, yaitu konstitusi yang menempatkan hutan sebagai subjek hukum yang harus dilindungi.

Dimana fungsi hutan diubah menjadi perkebunan kebun kelapa sawit di kawasan pembangunan jalan makam cut mutia, sehingga mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan berakibat pada hilangnya habitat satwa liar.

Hal tersebut terbukti dengan telah terjadinya konflik antara gajah dengan manusia di kawasan Gampong Peureupok Kecamatan Paya Bakong Kabupaten Aceh Utara beberapa waktu lalu.

Hingga mengakibatkan bencana banjir di Kawasan Hilir Aceh Utara, meliputi kawasan Matangkuli, Lhoksukon, Tanah Luas, Pirak Timu dan beberapa kecamatan di Kabupaten Aceh Utara.

 

Bagikan:

Tinggalkan Komentar