LBT | Banda Aceh – Marni, petani dari desa Pabumbungan, Kecamatan Eremarasa, Kabupaten Banteng, mengaku kehidupannya menjadi lebih sejahtera usai dia menjadi petani kopi dari sebelumnya menjadi petani jagung pada 15 tahun lalu.
Menurut dia, menanam kopi membuat kualitas hidup petani dan hutan Bantaeng semakin baik. Dia bercerita, 15 tahun lalu ia beralih menanam kopi bersama suaminya. Ia dan suami mengelola 2 hektar lahan yang ditanami kopi arabika.
Marni memilih kopi arabika sebab perawatannya lebih mudah sehingga memberikan penghasilan dan pendapatan yang lebih tinggi dibanding jagung. Ia mengaku, dulu saat menanam jagung, ia harus ke kebun setiap hari. Hal itu tentu menyita waktunya.
“Begitu beralih menanam kopi, saya bisa ke kebun seminggu sekali, dan harganya tiga kali lipat jagung. Saya hidup lebih baik, menyekolahkan anak sampai membangun rumah berkat kopi,” kata Marni.
Ia mengaku, sepanjang 2021 menghasilkan 130 liter biji kopi dari kebun yang digarapnya bersama suaminya.
Hasri, Ketua Koperasi Akar Tani yang memasarkan kopi petani Bantaeng menambahkan, Bantaeng merupakan kabupaten pertama di Sulawesi Selatan bagian selatan yang memiliki izin pengelolaan lahan hutan.
Koperasi Akar Tani sendiri terbentuk pada 2016, untuk menjaga harga biji kopi mereka dan untuk menembus pasar yang lebih besar.
“Dulu kami hanya menanam kopi Robusta, tapi begitu ada izin ini kami bisa menghasilkan kopi Arabika yang harga jualnya lebih tinggi. Saat ini perbandingan produksi Robusta – Arabika di Bantaeng sekitar 50 – 50,” kata Hasri.
Pengembangan pertanian berkelanjutan
Di Bantaeng, Sulawesi Selatan, terkenal sebagai daerah penghasil kopi. Kopi merupakan sandaran hidup masyarakat Bantaeng, salah satu penghasil kopi yang utama di Sulawesi Selatan bagian selatan.
Kopi Bantaeng ditanam di dataran tinggi, di hutan-hutan di kaki gunung Moncong Lompobatang. Selama satu dekade, RECOFTC (Regional Community Forestry Training Center) bersama petani Bantaeng mengembangkan pertanian berkelanjutan di hutan setempat.
RECOFTC sendiri merupakan sebuah yayasan dengan visi memberdayakan masyarakat lokal dan terlibat secara efektif dan setara dalam pengelolaan bentang alam hutan secara berkelanjutan. RECOFTC juga terlibat dalam proses pengembangan Hutan Desa pertama di Bantaeng dan mendukung masyarakat pengguna hutan di Sulawesi Selatan.
Praktik pertanian kopi berkelanjutan oleh masyarakat Bantaeng tersebut mampu menahan laju deforestasi dan meningkatkan tutupan hutan.
“RECOFTC percaya bahwa hutan dan lanskap dapat tumbuh secara berkelanjutan dan berkeadilan jika masyarakat mendapatkan manfaat dari pengelolaan hutan,” kata Gamma Galudra, Direktur RECOFTC Indonesi.
Gamma menambahkan, Bantaeng memiliki hutan produksi terbatas 1.262 hektar dan hutan lindung 2.773 hektar. Dengan dukungan RECOFTC dan Universitas Hasanuddin, petani kopi Bantaeng mendapatkan izin pengelolaan lahan hutan selama 35 tahun. Berawal dari tiga desa, kini Bantaeng menjadi salah satu referensi dan pusat studi mengenai hutan desa.
Sumber: Kompas.com